Senin, Februari 25, 2008

Yusti Probowati Rahayu: Kalau Sedang Tidak Mood, Hakim Jangan Ambil Putusan

[25/2/08]

Rambut boleh sama hitam, tetapi jalan pikiran hakim bisa saja berbeda. Meskipun sama-sama sedang menangani perkara korupsi misalnya, para hakim mungkin menjatuhkan vonis berbeda terhadap terdakwa.

Pelaku korupsi yang merugikan negara Rp103 miliar ‘hanya’ dihukum 2,5 tahun, sementara pelaku yang ‘hanya’ korupsi belasan miliar divonis 7 tahun penjara. Inilah yang disebut disparitas hukuman. Tetapi mengapa hakim yang sama-sama berpendidikan sarjana hukum itu menjatuhkan putusan berbeda, malah mungkin kontras?

Proses pengambilan keputusan hakim dalam perkara tertentu membutuhkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Pada prakteknya, suasana psikologis hakim bisa berpengaruh. Disparitas pemidanaan berkaitan dengan kepribadian, nilai dan sikap hakim. Yang berpengaruh antara lain kemampuan berpikir logis, kepribadian, jenis kelamin, usia, dan pengalaman kerja. Sayang, referensi yang mengaitkan kondisi psikologis hakim dengan putusannya masih sedikit.

Salah seorang dari sedikit akademisi yang melakukan kajian psikologis terhadap hakim adalah Yusti Probowati Rahayu. Perempuan kelahiran 22 September 1964 ini menempuh jenjang pendidikan psikologi dari S1 hingga program doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pertangahan Januari lalu, dosen Universitas Surabaya ini hadir dalam Forum Komunikasi Ilmu-Ilmu Forensik se-Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di sana ia berbicara tentang Peranan Psikologi dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana.

Dalam kesempatan pertemuan itulah hukumonline mendapat kesempatan mewawancarai Yusti seputar psikologi hakim dalam memutus perkara. Berikut petikannya:

Apa saja yang membuat hakim memiliki bias dalam menjatuhkan putusan?

Banyak faktor. Misalnya dari sisi terdakwa. Banyak penelitian yang menunjukan dari sisi kelamin, sisi ras itu berpengaruh. Penelitian saya menunjukan bahwa kalau dua terdakwa dengan ras atahu etnisnya ----saya coba bikin eksperimen begitu -- dalam kasus yang sama. Terdakwa yang satu etnis Tionghoa dan satu lagi etnis pribumi, lalu hakimnya pribumi. Hakimnya diminta membuat keputusan, ternyata yang etnis Tionghoa hukumannya lebih berat. Pada kasus lain, factor jender, satu terdakwanya laki-laki, dan terdakwa lain perempuan. Pada kasus orang tua yang melakukan kekerasan dan berdampak pada kematian anak, itu ternyata kalau terdakwa perempuan, kira-kira itu dihukum lebih berat atahu lebih ringan? Ternyata lebih berat

Apakah karena hakimnya laki-laki?

Tidak! Itu terjadi pada hakim laki-laki atahu perempuan. Itu karena stereotip masyarakat, perempuan adalah orang yang harus melindungi anaknya. Kalau sampai ada perempuan yang sampai tega membunuh anaknya, masyarakat menilai bahwa perempuan tersebut kebangetan gitu. Makanya ia dihukum lebih berat. Pada hakim laki-laki dan perempuan, bahkan pada hakim perempuan pun, hakimmenjatuhkan hukuman yang lebih berat. Satu lagi penelitian yang pernah saya buat. Anda tahu ya hakim sebelum membuat keputusan, lebih dahulu jaksa membuat requisitor. Studi awal saya mengkorelasikan requisitor jaksa dengan putusan hakim. Ternyata korelasinya 0,9.

Apa artinya korelasi itu?

Artinya, dalam membuat keputusan hakim sangat dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Jadi sebenarnya bukan hanya hakim yang membuat putusan. Jaksanya juga bermain. Dalam disertasi, saya membuat tiga kelompok hakim. Hakim riil ya. Yang satu hakim dikasih requisitor tinggi, satu dikasih requisitor rendah, dan yang lain tanpa requisitor dengan kasus yang sama. Ternyata bener, bahwa pada hakim dengan requisitor tinggi putusannya jadi lebih berat. Banyak bias yang menunjukan bahwa, hakim itu dalam pengambilan keputusan bias-bias yang dimunculkan, entah itu dari terdakwanya, atau jaksanya. Satu lagi yang saya lihat dalam proses pengambilan keputusan kognitifnya ternyata pada satu fenomena tertentu hakim yang ini bisa memutusakan hal-hal yang sangat berbeda dan itu kelihatan dari yang 90 hakim yang saya teliti. Pada kasus yang sama ada yang memutuskan terdakwa lepas, ada pula yang memberikan hukuman 10 tahun. Ini membuat saya bertanya, bagaimana ya di dalam otak para hakim itu? Kognitifnya seperti apa? Saya coba melihat dan analisis satu-satu logika berfikirnya ternyata memang tidak ada patokan. Ketika saya interview, mereka menjawab hakim kan punya kebebasan. Tetapi saya pikir kebebasan seperti apa? Seharusnya kebebasan yang bertanggung jawab kan? Nah, ini yang menurut saya menarik untuk dikaji.

Kapan Anda melakukan riset itu?

Saya buat di tahun 2001. Itu hanya salah satu penelitian dari bermacam kajian yang pernah saya lakukan.

Dimana daerah penelitiannya?

Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta.

Boleh tahu kasusnya tentang apa?

Kasus pembunuhan yang menggunakan pasal 338 KUHP. Jadi tiap pembunuhan dengan sengaja, persis sama kasusnya. Cuma dalam praktek ada yang memutuskan terdakwa lepas, ada yang tidak. Terus saya bertanya ini gimana prosedur pengambilan keputusannya. Saya coba teliti ternyata memang kacau ya.

Bukankah putusan itu menjadi mahkotanya hakim?

Nah, dengan dalih itulah maka hakim beranggapan orang tidak boleh masuk. Tapi saya pikir kan harus ada kriterianya. Harus ada satu kriteria untuk suatu pengambilan keputusan, tidak bisa sebebas-bebasnya. Bahkan pernah ada waktu saya wawancara di daerah Yogyakarta. Sang hakim mengatakan begini, pernah tuh bu ada kasus pada malam hari hakim besoknya dia harus membuat keputusan tiba-tiba rumahnya kemalingan. Lalu, besoknya dia harus memutuskan perkara pencurian. Si hakim kemudian memutuskan hukuman yang berat banget kepada terdakwa, apabila dibandingkan dengan putusan yang lazim untuk kasus pencurian.

Kasus yang sama tapi kali ini lebih berat ya?

Nah saya pikir ini kondisi emosi kan? Pada saat hakim itu ada dalam kondisi emosional harusnya hakim tak boleh membuat putusan. Sayang, kadang-kadang mereka tidak sadar. Mereka selalu mengklaim kita tidak bias kok. Seorang psikolog, kalau merasa tidak dalam kondisi yang baik untuk melayani klien, ya biasanya menolak. Kita juga manusia, yang kadang-kadang kalau lagi sumpek klien dateng ya mungkin bisa me-arrange janjil lagi daripada kita membuat sesuatu yang keliru. Sebenarnya itulah kebijakan kita untuk mengatur diri sendiri, kita bisa tidak sih membuat keputusan? Tetapi ya jumlah perkaranya tinggi, jumlah hakim terbatas. Itu yang kemudian membuat mereka seakan-akan ‘dewa yang tidak tersentuh’.

Ada upaya menjaga keluhuran martabat hakim dengan membentuk KY. Apakah hasil studi Anda pernah disampaikan sebagai bentuk rekomendasi ke KY?

Belum. Terus terang buat saya kadang tidak sulit menembus bidang-bidang itu. Mungkin ya karena saya ada di Surabaya. Tapi saya aktifnya membuat riset-riset seperti itu. Sekarang saya lagi riset di kepolisian sama Asosiasi Psikologi Forensik. Makanya presentasi saya juga tentang investigasi kepolisian. Saya juga ingin menunjukkan bahwa psikolog juga bisa berperan dalam penyidikan. Yang saya sajikan tadi kan lebih kepada kesaksian, tapi pada tersanga ada tekniknya sendir. Pada korban pendampingan perlu dilakukan, tergantung kasusnya. Sekarang ini kan banyak kasus anak atau perempuan korban kekerasan. Kadang-kadang hakim seperti melupakan kondisi korban. Korban ketika digali dia cenderung untuk menutup-nutupi. Belum pernah saya publikasikan untuk hal-hal seperti itu. Jadi, saya cuma nulis di buku dan akhirnya itu banyak dibaca oleh komunitas psikologi dan beberapa orang hukum yang baca, sebagai upaya penyadaran bahwa hakim juga manusia.

Langkah apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi bias dalam menjatuhkan putusan?

Harusnya para hakim tahu. Mereka perlu diberikan pelatihan, disadarkan bahwa manusia itu punya bias. Ini loh biasnya. Ketika orang sadar bahwa kondisinya sedang bias seharusnya dia bisa lebih aware. Itu sebenarnya, kayak misalnya ketika dia tahu bahwa requisitor itu sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan, mestinya hakim bisa lebih aware dan hati-hati dalam pengambilan keputusan.

KUHAP menentukan bahwa putusan harus didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Bagaimana Anda melihat syarat ini?

Menurut saya keyakinan hakim harusnya dibangun dengan data yang cukup lengkap. Ketika hakim melihat fakta yang lengkap harusnya bisa muncul keyakinan. Cuma, masalahnya, itu yang saya tidak tahu. Dalam proses sekarang, saya melihat buktinya harusnya kurang lengkap, tapi dia bisa begitu yakin untuk ambil keputusan. Saya pikir yang begitu ya tidak benar. Makanya saya bilang berdasarkan eksperimen yang saya lakukan kayaknya dengan data yang tidak cukup lengkap para hakim tetap berani mengambil keputusan. Dan memang kalau saya lihat dari beberapa survei di pengadilan, tampak bahwa kasus yang masuk di pengadilan itu hukumannya pasti kena hukuman. Jarang yang lepas, apa lagi bebas. Jarang banget. Karena kerangka berfikirnya sudah dari BAP kepolisian kan. Jadi hakim merasa bahwa BAP sudah lengkap.

Berati selain aspek yuridis, putusan hakim juga dipengaruhi aspek psikologis hakim?

Aspek psikologisnya banyak banget. Aspek emosinya, kognitifnya.

(Yusti menuliskan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim saat pengambilan keputusan dalam disertasi doktornya berjudul “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian Hakim dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, yang ia pertahankan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2001).

Apa yang Anda maksud dengan aspek kognitif?

Ya pola pikirnya hakim. Misalnya hakim yang sudah punya prasangka lebih dahulu bahwa dia akan menjatuhkan hukuman berat. Itu kan kognitif dan emosi. Kemudian, budaya juga sangat berpengaruh. Kalau Anda cermati putusan-putusan di daerah Tapal Kuda Jawa Timur yang banyak orang Madura-nya, untuk kasus pembunuhan hukumannya jadi lebih ringan.

Mengapa bisa begitu?

Karena di sana pembunuhan sudah sering terjadi. Di Madura ada budaya carok kan? Pembunuhan dianggap sudah biasa. Menurut saya, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Jadi hukum itu tidak bisa berdiri sendiri. Ada hal lain yang harus diperhatikan, tidak cuma psikologi, tetapi dari sosiologinya, dari budayanya. Cuma masalahnya kadang-kadang orang hukum itu selalu beranggapan undang-undang itulah yang paling benar. Padahal pelakunya kan manusia yang punya banyak aspek.

Apakah rekrutmen hakim juga perlu memperhatikan aspek-aspek yang Anda sebutkan?

Ada satu penelitian saya juga yang menunjukan bahwa hakim dengan karakteristik pribadi tertentu menghukum lebih berat, Itu kepribadiannya disebut dengan kepribadian otoritarian. Sang hakim sangat patuh pada aturan. Menurut saya kalau kita menemukan bukti yang seperti itu mungkin sistem rekrutmennya harus diperbaiki. Mungkin hakim-hakim yang punya kepribadian otoritarian, yang terlalu tinggi itu, mungkin tidak layak jadi hakim. Jadi orang yang berkepribadian otoritarian adalah orang yang tidak berpandangan luas dalam pengambilan keputusan. Jadi mereka cenderung melihat sesuatu salah dan benar, padahal kadang kita melihat satu fakta dengan banyak aspek pertimbangan.

Mungkin benar sistem seleksi hakim harus diperbaiki. Yang jadi masalah, kalau mereka sudah masuk, tidak mungkin kan diberhentikan begitu saja. Harusnya ada improvement, perbaikan dengan pelatihan pembekalan dari berbagai macam aspek baik aspek hukum maupun non-hukum. Pelatihan-pelatihan ini kayaknya sudah pernah ada dilakukan di Indonesia. Saya dengar Pak Adrianus Meliala juga masuk ke pelatihan-pelatihan hakim. Saya senang ada teman lain yang bergerak pada area yang sama untuk membuka wawasan bahwa hakim ini juga perlu mendapatkan masukan-masukan dari aspek yang non-hukum. Di Kejaksaan juga ada. Sekarang saya digandeng sama kepolisian. Saya pikir bagus juga bahwa mereka aware, ada sesuatu yang harus dilakukan.

Apakah Asosiasi Psikologi Forensik pernah menyampaikan usulan semacam itu?

Belum. Karena asosiasi sarjana psikologi forensik ini kan masih muda banget baru terbentuk Desember 2007. Jadi banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tadi ditanyakan sertifikasi profesi, ya itu akan kami lakukan. Setelah itu kami juga akan menggandeng beberapa instansi. Karena saya sekarang dekat dengan kepolisian ya mungkin kepolisian dulu yang digarap, habis itu mungkin lembaga lain. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga saya mulai masuk. Intinya, banyak yang bisa dilakukan untuk memberikan treatment kepada anak-anak di Lapas. Itu kan beda-beda, kompetensinya lain. Di Lapas beda, di Kepolisian beda, mungkin di kehakiman juga beda. Jadi banyak PR yang harus dikerjakan.

Menurut Anda, sejauh mana kaitan ilmu psikologi dengan ilmu hukum?

Menurut saya banyak sekali kaitannya. Misalnya ketika kita menjelaskan sisi hakim, itu kan psikologinya masuk. Ya dari dulu makanya saya fikir forum pertemuan ahli psikologi, forensic dan hukum penting karena orang akan tahu psikologi omongnya kayak begini, engineering kayak begitu. Dengan demikian, semakin kita melihat sesuatu semakin aware kita. Akhirnya, kita bisa kerja sama.

Tetapi, susahnya ilmu hukum itu kadang-kadang tertutup. Saya tidak tahu berapa banyak orang hukum yang ikut dalam forum pertemuan ini. Dokter banyak yang hadir tapi dari orang-orang hukum sendiri tidak banyak yang datang, padahal justru mereka yang penting. Kaitan ilmu-ilmu lain yang dibahas kan dengan ilmu hukum. Orang hukum harus diberi wawasan tentang pentingnya keterbukaan. Kalau kita mau kerja sama antara psikologi dan hukum, tidak mungkin psikolognya saja yang agresif. Orang hukum juga harus terbuka. Tanpa itu kerjasama tak mungkin terjalin, komunikasi harus sering dilakukan.

Berdasarkan hasil riset, bagaimana pandangan Anda terhadap peradilan di Indonesia dan hakim-hakimnya?

Kayaknya masih kacau, masih banyak yang harus diperhatikan. Banyak hakim yang sekarang -- kalau istilahnya pak Adrianus -- berasal dari perguruan tinggi tidak terkenal. Tidak cuma itu, kadang hakimnya hanya S1, pengacaranya sudah S2 dan S3. Itu otomatis sudah memberikan beban mental psikologis tersendiri. Begitu tahu pengacaranya begitu, acapkali hakim sudah merasa berat. Menurut saya, upgrading terhadap hakim itu perlu, baik dari sisi keilmuan, hukum, maupun wawasan-wawasan lain.

Misalnya lewat pelatihan-pelatihan. Karena kalau tanpa itu ya susah. Saya melihat bahwa sistem peradilan di Indonesia itu berbeda dengan di luar negeri. Amerika misalnya menggunakan sistem juri, Jadi saat mengambil keputusan itu ada dua hal yang diputuskan. Juri memutuskan guilty or not guilty, lalu hakim memutuskan berapa tahun hukumannya. Kalau di Indonesia semua itu jadi beban hakim sendiri. Guilty or not guilty ya putusan sepenuhnya di tangan hakim. Padahal pengambilan keputusan bersalah atau tidak bersalah harus mempertimbangkan keadilan masyarakat. Jadi kalau sistem juri memutuskan bahwa kondisi yang ada misalnya kasus ibu membunuh anak, maka di tim juri wakil dari ibu harus masuk. Etnisnya apa, misalnya etnisnya Negro, berarti wakil Negro juga harus masuk sebagai tolok ukur keadilan yang ada di masyarakat itu. Artinya juri adalah representasi dari masyarakat yang komposisinya bergantung pada kasus. Kalau di Indonesia, hakim kan semua harus tahu. Bayangkan ya, berat juga. Apalagi kalau tidak di back-up dengan kondisi-koindisi yang tidak menunjang, baik dari ilmunya maupun yang lain.

Apakah berarti sistem juri lebih baik dan menjamin bahwa tidak akan muncul bias dalam putusan hakim?

Bukan begitu. Saya hanya memberikan komparasi bahwa tugas hakim di sistem kita sangat berat. Sudah berat, kalau ia tidak didukung semakin ia tidak bisa melakukan apa-apa. Menghadapi bias-bias yang mungkin muncul saat hakim membuat putusan saya hanya bisa menyarankan sebaiknya Anda berdoa, mudah-mudahan hakim yang menangani kasus Anda berada dalam kondisi yang jernih pikirannya. Sebab publik tidak mungkin bisa masuk ke dalam putusan hakim.

Artinya, semua kembali kepada peribadi hakim itu sendiri?

Karena mereka berkelit pada kebebasan hakim kan. Kalau mereka sudah punya majelis hakim untuk suatu perkara, makla tak ada yang bisa campur tangan. Ketua Pengadilan pun tidak boleh masuk, sangat tertutup. Hakim punya kebebasan mutlak, dan sulit untuk menembus itu. Jadi yang perlu dilakukan adalah penguatan hakim, memberikan penyadaran kepada hakim bahwa adakalanya kondisinya tidak benar.
(CRT/Mys)