Kamis, Februari 04, 2010

Kerbau Gara-Gara

KERBAU yang diberi nama SiBaYu sesungguhnya tidak mencari gara-gara. Tetapi gara-gara kerbau yang ternyata sudah tiga kali ikut demonstrasi di Jakarta dan kini berubah nama menjadi Lebay itu, seantero negeri jadi heboh. Si Lebay kemarin oleh penyewanya, Jose Rizal, sudah dibawa dari Bekasi untuk berdemonstrasi lagi di Bundaran Hotel Indonesia. Namun, langkah Lebay terhenti oleh polisi yang mencegat di Kalimalang, Jakarta Timur. Lebay pun pulang kandang.

Masyarakat yang menyaksikan seekor kerbau dilibatkan dalam demonstrasi 28 Januari lalu sesungguhnya menganggapnya sebagai kegenitan para demonstran saja. Kalau ada yang serius, aspek keselamatan demonstran yang dikhawatirkan. Karena si kerbau ketika itu kelihatan mudah diatur dan bersahabat, polisi kala itu membiarkannya.

Namun, ternyata kehadiran kerbau itu menjadi soal besar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di hadapan rapat kerja kabinet yang juga dihadiri para gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Selasa (2/2), SBY merasa tersinggung berat. Tersinggung karena kerbau dihadirkan dengan semangat konotatif terhadap dirinya.

Yang ingin digugat SBY dengan curahan hatinya di hadapan para peserta rapat kerja itu adalah dimensi etis dari sebuah demonstrasi. Apakah demonstrasi yang merupakan hak menyatakan pendapat rakyat dan dilindungi undang-undang kebal terhadap semua dimensi kepatutan?
Itulah pertanyaan yang sekarang menyulut pro dan kontra. Dan itu juga pro dan kontra yang untuk kesekian kali muncul dari kebiasaan SBY akhir-akhir ini yang rajin mengeluh ke hadapan publik.

Kita semua harus memiliki posisi berdiri yang sama tentang demokrasi dan demonstrasi. Orde Baru melarang demonstrasi karena pemerintah tidak siap menghadapi semua konsekuensinya. Rakyat juga dianggap tidak siap berdemokrasi.

Tatkala kita mengusung demokrasi dengan kebanggaan penuh, kita suka atau tidak suka dianggap siap menerima dengan seluruh konsekuensinya. Sebuah pemerintahan yang membolehkan demonstrasi adalah pemerintahan yang tidak tipis kuping dan tidak supersensitif. Para pemimpinnya siap diolok-olok dan diejek di jalan-jalan dengan segala bentuk alegori yang disimbolkan rakyatnya karena kekecewaan.

Namun, negara yang membolehkan demonstrasi adalah negara yang mampu menegakkan hukum. Membakar foto seorang presiden dan lambang-lambang negara adalah perbuatan melanggar hukum sekaligus melanggar kepatutan.

Sayangnya, penegak hukum kita tidak mampu tegas terhadap apa yang patut dan apa yang tidak. Apa yang dilanggar dan apa yang tidak. Juga, partai-partai politik tidak mampu melakukan pendidikan politik terhadap konstituennya untuk memahami apa yang patut dan apa yang tidak. Politik masih dikendalikan oleh kepentingan yang membolehkan segala cara.

Dulu banyak yang bersepakat bahwa mengobral posisi ketersudutan adalah politik pencitraan SBY untuk meraih simpati. Namun, politik pencitraan harus menghormati dosis. Bila seorang presiden terus-menerus mengeluh kepada rakyatnya, keluhan itu akan berubah menjadi sinisme. Kalau Presiden terus mengeluh kepada rakyatnya, kepada siapa lagi rakyat mengeluh?

Tidak ada komentar: